Rabu, 13 Februari 2002. Selagi melintasi kota Selong, Ruhiyatun Fajri terkejut di persimpangan pertama. Dia melihat sebuah toko kelontong hancur. Pintu depan rusak. Barang-barang toko berserakan. Ada garis kuning polisi terbentang di depan toko. Kantor Kepolisian Resor Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, berjarak lima puluh meter di arah utara.
Atun, demikian dia biasa disapa, segera mempercepat langkah. Siang itu, dia sedang berjalan kaki pulang dari sekolah, melewati kota, menuju rumahnya di ujung Kampung Sawing, dua kilometer dari kantor bupati. Selama perjalanan pulang, pikiran siswi kelas dua Sekolah Menengah Pertama 2 Selong ini tertuju pada rumah sahabatnya. Rumah merangkap toko yang hancur itu milik Awaluddin, ayah dari kawan-kawannya di masjid, Ema dan Ica.
Lima ratus meter sebelum mencapai rumahnya, berbelok ke kiri, ada sebuah perkampungan di antara sawah dan kebun-kebun. Namanya Kampung Montong Gamang. Atun mengenal beberapa teman di situ, salah satunya keluarga Hammatul Hayyi.
Malam sebelumnya, Hayyi menginap di rumah Malik Saifur Rahman, saudara dekat sekaligus teman satu sekolah. Rumah Hayyi berjarak tiga puluh meter dari rumah Malik. Rabu pagi itu, Hayyi dan Malik berangkat bersama ke sekolah. Malik menyebut bibi pada Hayyi dari hubungan darah mereka, meski umurnya sepantar.
Di sekolah, Hayyi mendengar beberapa anak bergunjing. Tampaknya ada yang tahu dia menginap di rumah Malik. Hayyi tak suka mendengar teman-temannya berbisik. Dia khawatir mereka membicarakan dirinya sebagai anak Ahmadi. Dia tak suka, sekaligus takut.
Ahmadi adalah sebutan bagi anggota jemaah Ahmadiyah. Ahmadiyah merupakan kelompok dalam Islam yang meyakini bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah Al-Mahdi; tanda akhir zaman yang mendapatkan nubuwat atau ilham kenabian untuk menuntun sebuah gerakan pembaharuan Islam. Bagi kelompok Islam tertentu, apa yang diyakini oleh Ahmadiyah ini dianggap sesat dan penodaan terhadap Islam.
Seusai sekolah, Malik dan Hayyi tak langsung pulang. Keluarga mereka sudah menanti di depan sekolah, membawa mereka mengungsi ke Markas Kepolisian Resor Lombok Timur. Itu hari terakhir keduanya melihat rumah.
Tiga ratus meter sebelah timur kantor bupati Lombok Timur, berdiri Masjid Khilafah, pusat aktivitas Ahmadiyah Pancor. Di masjid yang dapat menampung lima ratus orang ini anak-anak jemaah Ahmadiyah biasa bertemu. Di seberang masjid, dipisahkan jalan aspal, ada rumah Bupati Lombok Timur, Syahdan.
Dua ratus meter di belakang masjid, dihela sawah, berdiri rumah ulama Azhar Izuddin. Ada gang sedikit memutar untuk mencapainya. Rumah ini berukuran 8 x 6 meter persegi. Masing-masing anak Azhar yang berkeluarga tinggal dalam satu kamar di rumah tersebut. Keluarga Muhammad Irwan, ayah Irma Nurmayanti, menempati kamar di ruangan belakang, terpisah dari rumah induk. Dapur dan kamar mandi dipakai bersama.
Malam sebelumnya, Azhar dan pengurus Ahmadiyah berada di Masjid Khilafah. Mereka bicara soal penyerangan terhadap jemaah Ahmadiyah. Rumah Rehanuddin yang pertama kali dirusak. Jaraknya hanya dua puluh meter dari rumah Azhar. Kedua rumah itu ada dalam satu gang.
Keluarga Azhar yakin, rumahnya tak mungkin diserang. Azhar ulama yang cukup disegani. Badannya tinggi besar, kulit hitam, janggut putih. Dia punya wibawa.
Sore itu, Rehanuddin datang dari kantor polisi. Dia mengajak keluarga Azhar untuk mengungsi. Rehan khawatir penyerangan itu tak berhenti pada rumahnya. Permintaan tak ditanggapi. Bahkan, beberapa jemaah ikut mengungsi ke rumah Azhar. Mereka menganggap rumah tersebut paling aman untuk berlindung.
Sebelum maghrib, seorang polisi bernama Sabri datang. Dia satu-satunya Ahmadi di Pulau Lombok yang menjadi polisi. Sabri hendak ikut salat berjemaah. Dia juga ingin melihat kondisi keluarga tersebut. Mereka memutuskan salat maghrib sekalian isya. Azhar memimpin salat.
Sekitar pukul 19.00 WITA, melingkar di ruang utama, keluarga Azhar makan bersama. Nasi dan lauk pauk disiapkan. Irma Nurmayanti duduk bersama keluarga. Dia senang makan bersama.
Suara dentingan batu beradu atap tiba-tiba mengagetkan keluarga Azhar. Sebagian atap rumah berupa lembaran seng bikin suara makin keras. Lemparan pertama berasal dari arah sawah.
Irma panik. Dia tak menduga rumahnya bakal diserang. Orang-orang terdiam. Sabri keluar dengan gesit. Naluri polisi mendorongnya segera bertindak.
DOR!
Sabri melayangkan tembakan peringatan ke udara. Hening sejenak.
Lemparan batu muncul dari arah selatan. Kini makin banyak dan suara benturannya kian bertubi dan keras. Orang-orang panik. Mereka berhamburan. Mencari perlindungan.
Irma diseret orangtuanya ke satu kamar di belakang. Dia tak sendiri. Dalam gelap, Irma melihat kamar itu penuh dengan keluarganya. Beberapa paman dan sepupu meringkuk di atas kasur. Yang lain di bawah ranjang. Irma duduk bersandar di dinding sisi pintu.
Seluruh penerangan segera padam. Irma ketakutan. Dia menangis tanpa bersuara. Dia tak bisa tidur. Hingga pukul dua malam, suara-suara lemparan batu ke rumah Azhar Izuddin terus berdentam.
***
Markas Kepolisian Resor Lombok Timur terletak di timur kota. Posisinya di sisi barat jalan mendaki. Bagian depan dibatasi pagar yang terpacak di atas tanggul. Taman rumput mengisi halaman depan. Luas gedung sekitar 30 x 15 meter persegi. Sebuah lorong di tengah-tengah membagi ruangan besar.
Di belakang kantor, berdiri sebuah bangunan. Ada tiga buah kamar mandi di sisi kanan. Tangga setinggi lima meter melingkari teras. Di atas dinding depan tertulis “Gedung Dharma Wanita”.
lanjutkan ke http://www.lenteratimur.com/2011/01/anak-anak-menjadi-perantau/