Akh. Muzakki*
Seorang filosof pendidikan kenamaan dari New York, Sidney Hook
(1943:154), pernah menyatakan, perkembangan sebuah bangsa kerap diikuti
oleh munculnya dua figur. Yakni, figur yang telah turut menjadi saksi
sejarah atas perkembangan itu sendiri (the eventful man in history) dan figur yang cenderung menjadi bagian dari apa yang disebut sebagai pencipta sejarah (the event-making man) bagi perkembangan itu. Yang kedua lebih aktif daripada yang pertama.
Besarnya investasi sejarah yang ditanamkan oleh kedua figur di atas
terhadap perkembangan sebuah bangsa membuat namanya tak lekang oleh
waktu, dan bahkan oleh perubahan politik kekuasaan sekalipun. Karena
itu, tak heran jika muncul suatu pernyataan bijak: Bangsa yang besar
adalah bangsa yang sangat menghargai jasa anak bangsanya sendiri.
Penghargaan itu bukan saja dalam kepentingan untuk sekadar mengenang
jasa-jasa baik anak bangsa itu kepada masyarakat luas. Namun lebih dari
itu, penghargaan itu merupakan bagian untuk menjadikan nilai positif
yang diperbuatnya selama hidup sebagai teladan dan sekaligus inspirasi
bagi lahirnya tindak positif lainnya dalam kehidupan masyarakat lebih
luas untuk masa-masa setelahnya.
Penghargaan di atas akan semakin membesar saat publik melihat bahwa karakter dari figur the eventful man in historydan the event-making manmelekat
kuat dalam diri seseorang. Indikatornya bisa kita lihat dari bentuk
apresiasi publik yang tetap tinggi atas ketokohan dan kepeloporan yang
pernah diinisiasinya saat masih hidup.
Bila membaca perkembangan terakhir pasca wafatnya Gus Dur pada 30
Desember 2009, tampaknya figur yang bernama asli Abdurahman Wahid
al-Dakhil dan pernah menjadi Presiden RI ke-4 ini memenuhi kriteria
sebagai the eventful man in historydan the event-making mansebagaimana dimaksud di atas.
Jika kita sempat terbangun pada sekitar pukul 03:30 dini hari atau
satu jam sebelum shalat subuh, kita akan mulai dengan mudah mendengar
lagu syi'ir Gus Dur (atau yang lebih dikenal dengan Syi'ir Tanpa Waton)
dari pengeras suara masjid sekitar tempat tinggal kita. Semakin hari
semakin sering pula syi'ir Gus Dur di atas bisa kita dengar dari
berbagai masjid, baik di pedesaan dan perkotaan, sebagai pengingat bahwa
waktu shalat akan segera datang.
Fenomena ini sangat menarik karena selama ini masjid-masjid yang ada
biasanya memutar kaset pembacaan ayat-ayat al-Qur'an oleh para pelantun
(qori') terkenal sebagai pengingat waktu sholat. Bahkan, beberapa dari masjid-masjid itu selama ini justeru memutar tarhim sebagai semacam "nyanyian" lagu dalam bahasa Arab terutama untuk menyambut datangnya waktu shalat subuh.
Tapi, kini syi'ir Gus Dur telah mampu menggeser tarhimdan atau lantunan qori'sebagai
pengingat waktu shalat. Bahkan, secara perlahan-lahan, lagu syi'ir Gus
Dur di atas diperdengarkan melalui pengeras suara masjid sebagai
pengingat waktu untuk tiap shalat wajib lima kali sehari.
Fenomena di atas menunjukkan, Gus Dur telah menjadi pemantik kecenderungan hidup (trendsetter)
tidak hanya bagi kehidupan sosial-politik, tetapi juga religius.
Jangankan forum seminar sosial-politik, masjid sebagai simbol ritual
keagamaan saja telah menjadi tempat untuk transmisi pesan dari
pikiran-pikiran Gus Dur.
Fenomena baru dari perkembangan dunia keislaman di tanah air di atas
semakin melengkapi catatan sejarah atas kiprah Gus Dur semasa hidupnya
atas bangunan kebangsaan-kenegaraan Indonesia. Sebagai contoh kecil,
Gus Dur selalu hadir bersama advokasinya untuk kelompok minoritas dan
terpinggirkan. Kategori kelompok minoritas dan terpinggirkan ini tidak
saja dari sisi politik, melainkan juga agama.
Tidak saja Islam sebagai agama mayoritas dalam relasinya dengan
kelompok agama lainnya, melainkan juga kelompok-kelompok di internal
Islam sendiri. Dengan begitu, kelompok-kelompok minoritas dan
terpinggirkan tidak merasa menjadi warga negara kelas dua di negerinya
sendiri.
Oleh karena itu, wajar saat terjadi ketegangan antar umat beragama,
figur Gus Dur selalu ingin dihadirkan kembali. Figurisasi ini bisa
melalui anak-anaknya ataupun keluarganya. Saat sejumlah 60 orang yang
hendak melakukan misa natal di sebuah gereja di Bogor mendapatkan
penentangan dari warga dan penguasa lokal, Inayah puteri Gus Dur dan
Lily Wahid adik Gus Dur dihadirkan untuk melakukan advokasi terhadap
kelompok Kristiani ini (Jawa Pos, 26/12/2011).
Penghadiran Inayah dan Lily Wahid ini tak lepas dari memori publik,
terutama kaum minoritas, atas gagasan dan perjuangan Gus Dur saat masih
hidup yang selalu menginginkan tiadanya diskriminasi atas dasar
keyakinan, ras, etnis, dan kelompok sosial. Diskriminasi ini, dalam
pandangan dan perjuangan Gus Dur, tidak saja mencederai nilai luhur
Pancasila yng menjadi basis ideologi kebangsaan dan kenegaraan Indonesia
akan tetapi juga ajaran Islam yang dipeluk secara mayoritas di negeri
ini.
Banyak contoh yang bisa dihadirkan di sini untuk menjelaskan hadirnya
Gus Dur di hati dan memori publik. Namun, terlepas dari kontroversi
yang ditimbulkannya dalam keteguhannya memperjuangkan gagasan toleransi
dan anti-diskriminasi yang menjadi nilai demokrasi dan agama,
penghadiran kembali Gus Dur baik melalui advokasi sosial oleh
figur-figur yang punya garis genealogis maupun melalui transmisi media
keagamaan dan ruang publik mengembalikan memori publik seakan-akan Gus
Dur masih hidup bersama dan atau di tengah-tengah mereka.
Kontribusi Gus Dur yang relatif besar kepada rakyat dan negara selama
hidupnya menjadi latar belakang kecenderungan ini. Bahkan, seperti
kata Nur Kholik Ridwan dalam bukunya Gus Dur dan Negara Pancasila(2010),
perjuangannya membela mati-matian Pancasila dirasakan oleh masyarakat
telah ikut menjamin rasa tenteram semua elemen masyarakat, termasuk
kalangan minoritas agama dan kelompok sosial.
Keberhasilan Gus Dur menjadi figur the eventful man in historydan the event-making mantidak
lepas dari kecakapan pemahaman dan perilaku yang bersangkutan dalam
meramu kerangka yang apik antara Islam dan Indonesia. Pada awal 1980an,
dengan gagasannya untuk melakukan pribumisasi Islam, Gus Dur telah
menahbiskan keislaman dan keindonesian sebagai dua sisi mata uang uang.
Keduanya berbeda tapi tidak pernah bisa dipisahkan.
Karena itu, memori publik pun selalu mencatat, Gus Dur sepanjang
hayatnya mengandaikan dan meneladankan keislaman dan kebangsaan untuk
hadir dalam waktu bersamaan. Caranya dengan menjadi Muslim serta warga
Indonesia yang baik pada waktu bersamaan pula. Konkretnya, menjadi
Muslim yang saleh harus pula menjadi, dan sekaligus ditandai oleh
perilaku sebagai, warga negara Indonesia yang baik.
* Dosen IAIN Sunan Ampel Surabaya
Artikel Dimuat diJawa Pos, 29 Desember 2011
Sumber : http://www.gusdur.net/
0 komentar:
Posting Komentar