Sebagai
seorang muslim, masjid adalah tempat yang sering kita datangi.
Belakangan ini, aturan ‘Dilarang Tidur di Dalam Masjid’ kerap kita
jumpai di sekian masjid. Bagaimana bisa aturan ini dibuat? Aturan ini
diputuskan sepihak oleh pengurus sebagian masjid bahkan oleh oknum
pengurus. Aturan ini sulit diabaikan, lebih-lebih dilanggar karena
aturan ini tercetak di atas kertas folio dengan huruf besar-besar dan
tebal, yang dilekatkan hampir di tiap kaca-kaca bagian belakang masjid.Pengurus
masjid memang bermaksud baik dengan kebijakan itu seperti menjaga
kebersihan dan keheningan masjid dari liur atau dengkuran yang
ditimbulkan orang yang tidur, atau menghindari pencuri (microfon atau
ampli, mesin elektronik pengeras suara) yang berpura-pura tidur. Tetapi
sumber hukum larangan tersebut patut ditelaah lebih lanjut.
Kalau ditinjau dari segi fiqh sebenarnya, “Tak masalah tidur di
masjid bagi orang yang tidak junub meskipun dia telah berkeluarga.
Sejarah mencatat bahwa Ash-habus Shuffah –mereka adalah para sahabat
yang zuhud, fakir dan perantau– tidur (bahkan tinggal) di masjid pada
zaman Rasulullah SAW. Tentu saja haram hukumnya jika tidur mereka
mempersempit ruang gerak orang yang sembahyang. Ketika itu, kita wajib
menegurnya. Disunahkan pula menegur orang yang tidur di saf pertama atau
di depan orang yang tengah sembahyang,” [M. Nawawi bin Umar al-Bantani
al-Jawi, Syarh Kasyifatus Saja ala Matni Safinatin Naja (Surabaya: Maktabah Ahmad bin Sa‘ad bin Nabhan wa Auladih, tanpa tahun) Hal. 29].Pandangan fiqh di atas merupakan bagian dari sejarah kemanusiaan Rasulullah SAW. Jangankan untuk sekadar tidur lepas penat dalam hitungan jam (di siang hari bagi pekerja atau di malam hari bagi pelancong)? Bahkan untuk jangka yang tak terbatas sekalipun, agama memberikan toleransi untuk mereka seperti perlakuan Rasulullah terhadap Ash-habus Shuffah.
Jadi larangan tidur di masjid dimungkinkan hanya sejauh yang bersangkutan memiliki hadats besar atau mengganggu ruang gerak orang sembahyang yang menelan hanya 75cm x 1 meter. Ukuran ini bagi orang Indonesia sudah cukup leluasa untuk melakukan sembahyang. Larangan bisa saja dibelakukan dengan catatan pengurus masjid menyediakan ruang lain di masjid yang dapat digunakan untuk istirahat. Dengan demikian, kebijakan-kebijakan pengurus masjid, tidak menyurutkan langkah dakwah Islam.
Redaktur: Ulil Abshar
Penulis: Alhafidz Kurniawan
Sumber : http://www.nu.or.id
0 komentar:
Posting Komentar