Rabu, 13 Februari 2002. Selagi melintasi kota Selong, Ruhiyatun Fajri terkejut di persimpangan pertama. Dia melihat sebuah toko kelontong hancur. Pintu depan rusak. Barang-barang toko berserakan. Ada garis kuning polisi terbentang di depan toko. Kantor Kepolisian Resor Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, berjarak lima puluh meter di arah utara.
Atun, demikian dia biasa disapa, segera mempercepat langkah. Siang itu, dia sedang berjalan kaki pulang dari sekolah, melewati kota, menuju rumahnya di ujung Kampung Sawing, dua kilometer dari kantor bupati. Selama perjalanan pulang, pikiran siswi kelas dua Sekolah Menengah Pertama 2 Selong ini tertuju pada rumah sahabatnya. Rumah merangkap toko yang hancur itu milik Awaluddin, ayah dari kawan-kawannya di masjid, Ema dan Ica.
Lima ratus meter sebelum...