Senin, 09 Januari 2012

Ahmadiyah yang Dicerca dan Dipuja

Seorang mubaligh di Jakarta yang dalam ceramahnya sering mencerca Ahmadiyah (gerakan Islam yang dinilai sesat dan menyesatkan), suatu kali dalam satu diskusi – yang membahas perkembangan sains di Dunia Islam – memuji-muji almarhum Abdus Salam (1926-1996), pemenang Nobel Fisika tahun 1979. Sang da’i yang anti-Ahmadiyah itu mengatakan dunia Islam benar-benar tertolong dengan kehadiran Nobelis Abdus Salam sehingga perkembangan sains Islam yang sudah terputus selama lima abad seakan hidup lagi. 
 
Salam menjadi penerang sains Islam dan menjadi penggugah kaum muslimin untuk kembali meraih kejayaan di bidang sains yang pernah digengamnya pada abad ke ke-7 sampai ke-15. Harian Republika, yang merupakan corong masyarakat Islam di Indonesia, sering memuja Salam sebagai saintis Islam terbesar dan sebagai ilmuwan muslim pertama yang mendapatkan hadiah nobel paling bergengsi di bidang fisika atom di tengah terpuruknya sains Islam dalam lima abad terakhir.
Abdus Salam kelahiran Pakistan 29 Januari 1926 itu meraih gelar doktor fisika dalam usia 26 tahun dari universitas di Inggris, Cambridge University. Dalam waktu hanya lima tahun melakukan penelitian tentang gaya-gaya fundamental di alam raya, penemuan Salam ternyata mendapat penghargaan Nobel. 

Penemuannya dalam usia 31 tahun dianggap prestasi yang luar biasa. Salam dalam penelitiannya berhasil menemukan fakta sesungguhnya semua gaya yang ada di jagad raya – yaitu gaya gravitasi, elektromagnet, nuklir kuat, dan gaya nuklir lemah hakikatnya merupakan satu kesatuan.

Keseimbangan Ciptaan Alah


Seperti ditulis Prof Ahmad Baiquni (alm), Salam melandaskan penelitian fisikanya berdasarkan nash-nash Alqur’an, khususnya Surat Al-Mulk ayat 3 – tentang keseimbangan ciptaan Alah. Ketika jenasahnya akan dimakamkan di Pakistan, PM Benazir Ali Bhutto menganugerahkan penghargaan tertinggi kepada Salam sebagai Putera dan pahlawan terbaik Pakistan. “Salam bukan sekadar
kebanggan Pakistan, tapi juga dunia,” kata Benazir dalam pidato pemakaman Salam.

Siapa sebenarnya Prof Dr Abdus Salam? Dia adalah pengikut Ahmadiyah Qodiani – sebuah aliran yang oleh MUI dan mayoritas Islam di dunia – dianggap sesat dan menyesatkan. Sebelum pemerintahan Benazir, Salam diusir dari Pakistan dan dilarang menginjakkan kakinya di Tanah Suci Makkah. Semasa hidupnya Salam sering jadi objek caci maki rakyat Pakistan dan Timur Tengah karena ke-Ahmadiyah-annya. 

Tapi di akhir hayatnya, – Salam justru dianggap Putra dan pahlawan Pakistan. Seperti kebanggaan da’i di Jakarta, dan orang yang memaki-maki Salam kini berbalik menjadi pemujanya yang fanatik. Dari gambaran itu, kita jadi aneh bila melihat sahabat-sahabat kita di Bogor yang dengan membabi buta menghancurkan kampus Ahmadiyah. Lebih ironis lagi, para penghancur ini sebagian mengaku orang (Lembaga Penelitan dan Pengkajian Islam). 

Bila dilihat namanya, LPPI mestinya lembaga kritis, berwawasan inklusif, dan toleran akan perbedaan pendapat dalam Islam. Bukankah hadis Nabi sendiri menyatakan perbedaan pendapat di antara umatku adalah rahmat?

Tetap Membaca Syahadatain


Perbedaan paham antara Ahmadiyah dan Ahli Sunnah tak ada yang prinsipil. Jika kaum Ahmadiyah mengaku ada nabi setelah Muhammad dan wahyu tetap diturunkan kepada seorang nabi sampai sekarang, tidak prinsipil. Kata nabi berasal dari kata naba’a – artinya pemberi kabar (dari langit).
sampai hari ini pun banyak ulama atau kaum sufi yang karena kesucian dan kezuhudannya sering mendapat berita langit? Lantas, nabikah dia?


Kaum Islam mayoritas mungkin menyebutnya wali atau ayatullah dalam Syiah! Lagi-lagi, masalah ini sebenarnya tidak perlu menimbulkan fitnah dan pengrusakan. Bukankah tokoh yang disebut-sebut nabi dalam Ahmadiyah Qodiani masih tetap membaca Syahadatain, bahwa Tidak Ada Tuhan Kecuali Allah dan Muhammad adalah Utusannya?

Perbedaan ketiga yang sebenarnya kurang prinsip adalah kata “khatamun nabibyyin” – bahwa Muhammad adalah nabi yang sempurna. Para mufassir dan ulama di Indonesia menterjemahkannya 

“Muhammad nabi yang sempurna” karena itu Muhammad merupakan nabi terakhir.
Saudara kita di Ahmadiyah menerjemahkan khatamun nabiyyin nabi yang sempurna tapi tidak yang terakhir. Menurut Ahmadiyah, masih ada nabi setelah Nabi Muhammad, tapi tidak sesempurna Muhammad. Sejauh ini kaum Ahmadiyah tak pernah berpendapat untuk menduakan Allah (musyrik) dan menolak Kerasulan Muhammad. Karena itu, jauh lebih baik jika umat Islam mayoritas merangkul umat Islam minoritas Ahmadiyah ketimbang menjadikannya musuh yang harus dihancurkan. 

Apalagi peran kaum Ahmadiyah dalam menyebarkan Islam sangat besar. Sebagian besar buku-buku Islam yang diterbitkan di Barat dan kemudian membawa orang Barat simpati kepada Islam ditulis oleh orang Ahmadiyah. Di berbagai wilayah di Indonesia – kecuali di Parung, Bogor – hubungan antara muslim Ahmadiyah dan muslim mayoritas Indonesia (NU dan Muhammadiyah) baik-baik saja. 

Oleh KH Ma’mur Noor
Penulis adalah anggota Komisi VIII DPR

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

Tukeran Link

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Powerade Coupons